Untuk kegiatan KPG(Kelas Pemikiran Gus Dur) 2~ Unwahas Semarang
Sedikit bingung ketika diminta menulis Esai tentang Gus Dur, sadar diri pula bahwa penulis adalah orang yang masih perlu banyak pengetahuan tentang beliau, disini penulis teringat bahwasannya pernah memegang dan sedikit membaca buku milik teman yang tentunya masih penulis ingat dengan jelas sampulnya yaitu seorang Tokoh besar yang sedang tertawa, KH. Abdurrrahman Wahid. Buku tadi bersampul hijau dengan judul Gus Dur dan Ilmu Sosial Transformatif dengan pengarangnya Syaiful Arif, Lagi - lagi penulis masih awam dengan nama pengarang buku tersebut. Namun akhir – akhir ini penulis sedikit tahu tentang latar belakang pengarang.
Ketika itu, terlintas dalam benak penulis untuk menulis Esai dengan rujukan buku tersebut dan meminjam ke teman penulis, namun mengingat waktu ini adalah waktu libur kampus dan pemilik buku tersebut sedang mudik, akhirnya penulispun memilih untuk mencari buku itu di Perpustakaan Umum Semarang, namun penulis tidak menemukannya, sehingga penulis mengambil jalan pintas karena keterbatasan waktu dan deadline pengumpulan yang semakin dekat, akhirnya penulis mencari e-booknya dan Alhamdulillah ketemu. Dan mulailah buku itu dibaca, dari situ penulis mendapatkan sebuah pemahaman baru, khususnya mengenai sosok yang wujudnya acapkali menghiasi dinding di kediaman penulis yang berada di Tengah Kota Semarang, Jawa Tengah. Itu pula agaknya yang menuntut penulis untuk mendekatkan diri pada spektrum pemikiran beliau yang “konon” sangat luas itu.
Dari buku inilah, penulis sedikit memahami bahwa percikan-percikan pemikiran Gus Dur, yang dilukis melalui buku ini dengan cara mencoba mendedahkan salah satu dari sekian banyaknya tafsir atas spektrum pemikiran Gus Dur. Meminjam istilah Ulil Abshar Abdalla, bahwa sosok satu ini ibarat sebuah teks terbuka. Dan karena sifatnya yang terbuka itu, maka memungkinkan tafsir yang tidak tunggal. Tafsir-tafsir itu semacam pelabelan liberalisme, tradisionalisme, post-tradisionalisme, modernisme, bahkan neo-modernisme seperti yang diutarakan Greg Barton, Indonesianis asal Australia.
Di sinilah tafsiran yang dilakukan oleh Syaiful Arif, yang mencoba menguak pemikiran Gus Dur lewat kacamata ilmu sosial. Sepertinya hal ini yang menurut santri Pesantren Ciganjur ini lebih pas disandingkan pada diri Gus Dur, khususnya atas apa yang dilakukan beliau dalam transformasi sosial dan keagamaan. Yakni pembebasan dari belenggu kolonialisme kekuasaan yang terbukti menghapus hak-hak rakyat terutama minoritas.
Pembebasan seperti apa yang diinginkan Gus Dur? Berbeda dengan Marx, pembebasan yang dilakukan oleh Gus Dur tidak mengenal adanya kelas-kelas seperti apa yang diutarakan kaum Marxian, juga karena meniadakan agama sebagai salah satu fundamen terpenting dalam arah transformasi sosial. Bagi beliau, agama khususnya Islam adalah fundamen utama guna dijadikan media pembebasan dari segala jerat hegemoni dan ideologisasi.
Itulah mengapa beliau menyebut Islam sebagai etika sosial. Maka etika yang seringkali menjadi perdebatan antar pemikir, sastrawan, budayawan maupun filsuf menjadi amat benderang di mata Gus Dur kini. Jikalau menengok lebih mendalam tentang etika sosial ini, bagi Gus Dur dimaknai sebagai sebuah bentuk pembanding bagi modernitas yang cenderung individualistis, dan seringkali kering secara spirirutalitas. Maka etika sosial seperti inilah yang harus menjadi basis pergerakan bagi muslim dalam kehidupan, yang tidak silau pada budaya-budaya modernitas.
Maka, melalui buku inilah, agaknya corak pemikiran ilmu sosial Gus Dur yang begitu luas itu mampu diterjemahkan dengan baik. Hingga membukakan tabir bagi kita bahwa sosok satu ini juga mewariskan khazanah ilmu sosial untuk kita yang bertujuan pembebasan kemanusiaan secara manusiawi, khususnya bagi generasi penerus yang harus terus dielaborasi dan dieksplorasi. Namun, lagi-lagi memperbincangkan berbagai warisan Gus Dur memang tidak akan pernah habis. Karena jikalau kita mau tengok, Gus Dur tidak hanya mewariskan hal ini saja. Banyak sekali sisi keilmuan beliau yang perlu kita cari tahu dan kita gali kembali lebih mendalam.
Sarah, 2016